Rabu, 20 Oktober 2010

HAMKA, Sosok yang Mengajarkan Kesederhanaan

“Saya masih teringat dalam satu kongres, kaki saudara Udin terletak diatas dada Mr. Kasman, dengan tidak sengaja lantaran kepayahan sesudah rapat. Dan kepala saudara Sudirman (almarhum Jenderal Sudirman), satu bantal dengan kepala saudara Muljadi Djojomartono. Dan saudara Tjitrosuwarno gelisah mendengar keruh (dengkur) saudara H. Abdullah dari Makassar.”(Tulisan Hamka yang dimuat di Muhammadiyah Nomor 31 Januari 1953)
Cerita ini, ketika saya baca langsung menyentuh relung hati saya yang paling dalam. Otak saya berfikir dan menggambarkan kondisi saat itu yang sangat jelas di ceritakan oleh Buya Hamka. Hati saya saya pun langsung rindu untuk mengalaminya dan ingin berada dalamnya. Suasana dengan penuh kesederhanaan dan penuh semangat dalam bermuhammadiyah. Otak saya terus saja berfikir, mungkin saking sederhananya fenomena itu bisa terjadi. Ruang yang sempit, ini tergambar jelas dengan adanya kaki yang naik ke dada Mr. Kasman. Serta minimnya fasilitas seperti kurangnya bantal sehingga harus satu bantal dua orang.
Hari ini, menjelang satu abad Muhammadiyah, cerita itu sepertinya hanya akan menjadi kenangan. Cerita yang suatu saat akan menjadi dongeng penghias tidur anak cucu kita kelak. Megapa? Karena memang Muhammadiyah telah berubah. Perubahan itu ditandai dengan adanya gejala elitisme gerakan di pengurus Muhammadiyah. Banyak kita saksikan pimpinan Muhammadiyah yang membentuk dirinya menjadi kaum elit, atau membangun citra elit dalam dirinya. Sehingga mereka yang berada pada tataran structural paling bawah dalam persyarikatan memandangnya seolah sangat tinggi.

Harus kita akui bahwa Muhammadiyah memang megah dari luar, tapi keropos dari dalam. Kekurangan kader merupakan contoh real yang suatu saat membuat Muhammadiyah hanya tinggal nama. Anehnya gejala ini seolah hanya sebuah cerita tanpa penyelesaian yang serius. Melihat Muhammadiyah yang akan datang, lihatlah kader Muhammadiyah hari ini, sayangnya kader yang disiapkan itu kurang, malah tidak ada. Perhatian terhadap pembinaan kader ini yang mesti dan segera menjadi prioritas gerakan kita.

Menjelang satu abad memang kita mesti berbenah, belajar dari sejarah adalah salah satu jalannya. Ketika saya membayangkan menjadi bagian dalam cerita Buya Hamka tadi, maka saya akan memilih tidur satu bantal dengan Jenderal sudirman yang menjadi idola saya sejak kecil. Atau dengan Mr. Kasman agar seliruh isi otaknya yang penuh muatan ilmu bisa saya pindahkan ke kepala saya.

Saya juga sering melihat para pimpinan Muhammadiyah seolah menjadi kaum elit, susah ditemuin, orientasi gerakan yang tidak lahir dari semangat para founding father. Belum lagi pada tataran pimpinan amal usaha. Saya sering mengurut dada karena banyaknya pimpinan amal usaha yang membuat dirinya bak raja. Tidak nurut dengan pimpinan persyarikatan, bahkan ada yang berani melawan. Sungguh kehidupan bermuhammadiyah yang membuat semangat saya runtuh seketika.

Jujur, secara pribadi rindu dengan sosok seperti Pak AR. Sosok yang sangat zuhud, memandang kehidupan dengan begitu sederhana sehingga kehidupan setenang air yang mengalir. Potret kehidupan seperti yang di gambarkan Buya memang sudah tidak ada, alasannya mungkin karena zaman telah maju, fasilitas sudah lengkap dan sayang jika tidak digunakan. Namun menjadi diri yang sederhana dan bersahaja ditengah pusaran globalisasi merupakan mutiara di tengah gubangan lumpur. Saatnya memang kita kembali kepada ruh perjuangan yang sudah ditanamkan sejak dulu. Orientasi profit harus kita buang jauh-jauh, karena Muhammadiyah lahir ditengah kesulitan masyarakat akiibat penindasan penjajah. Orientasi social dan dakwah mesti menjadi priorotas utama. Mudah-mudahan sekolah Muhammadiyah yang mahal hanya cerita dongeng belaka, dan sekolah murah dan berkualitas betul-betul menjadi realita dan bukan dongeng.

Di akhir tulisan Hamka menyebutkan, “segala kesulitan telah pernah kita atasi, dengan sikap diam, tenang dan maaf. Ketahuilah bahwa Indonesia ini masih banyak “adik-adik” yang harus kita didik dengan keteguhan hati. Sjiblih berkata, ‘Teladanlah kayu di rimba. Dilempar orang dia dengan batu. Lalu dibalasnya dengan buah. Sebanyak batu naik, sebanyak buah turun.”

2 komentar:

  1. dgn kesederhanaan kita akan merasakan hidup ini damai . , dan selalu mengingat Allah . ,

    artikel yg bermanfaat ^_^

    BalasHapus
  2. @Ladida: terima kasih komennya, mudah-mudahan sosok seperti Hamka semakin banyak di negeri tercinta ini

    BalasHapus